Anies kalah dari mantan Jenderal Prabowo Subianto yang memperoleh 60 persen suara pada pemilu Februari lalu.
Anies Baswedan, yang kalah dalam pemilu presiden di Indonesia pada bulan Februari, mengatakan kepada pengadilan bahwa pemilu tersebut tidak adil dan penuh dengan campur tangan, saat ia menyampaikan keberatannya terhadap hasil pemilu tersebut dan menyerukan pemilu ulang.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto muncul sebagai pemenang dalam pemilu 14 Februari dengan 60 persen suara. Anies di urutan kedua dengan 25 persen, sedangkan Ganjar Pranowo di urutan ketiga dengan 16 persen.
Pasangan Prabowo adalah Gibran Rakabuming Raka, 36 tahun, putra tertua Presiden Joko Widodo saat ini, yang umumnya dikenal sebagai Jokowi, yang masih sangat populer.
Anies, mantan gubernur Jakarta dan menteri pendidikan, menuduh ada tekanan besar dari pemerintah terhadap pemerintah daerah, dan mobilisasi bantuan sosial adalah “alat transaksional” untuk memastikan satu hasil.
Ia memperingatkan bahwa negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini berisiko terjerumus kembali ke masa lalu yang otoriter.
“Jika kita tidak melakukan koreksi sekarang, maka ke depan akan menjadi preseden dalam pemungutan suara di semua tingkatan,” ujarnya. “Praktik ini akan dianggap normal, sebuah kebiasaan.”
Mahkamah Konstitusi diperkirakan akan menyampaikan keputusannya pada 22 April.
Tantangan terhadap hasil pemilu adalah hal biasa di Indonesia. Prabowo mempertanyakan hasil pemilu ketika ia kalah dari Jokowi pada tahun 2019, dengan mengklaim bahwa terdapat kecurangan yang meluas dan hasil pemilu tersebut dicurangi.
Tim Anies mendesak pengadilan untuk memerintahkan pemilihan ulang yang tidak menyertakan Gibran, dengan tuduhan bahwa pencantuman Gibran dalam posisi wakil presiden pada pasangan Prabowo telah mempengaruhi perolehan suara tersebut secara tidak adil.
Gibran, mantan Wali Kota Solo alias Surakarta, bisa mencalonkan diri setelah pengadilan menyatakan batasan usia calon tidak berlaku jika seseorang sudah menduduki jabatan publik.
Partisipasinya dalam pemilu memicu kritik bahwa Jokowi berupaya menciptakan dinasti politik.
Para sekutu presiden membelanya dan menolak kritik bahwa ia menyalahgunakan posisinya.